Kita semua sepakat, bahwa pendidikan itu
penting, sehingga semua kita mau berkorban demi pendidikan. Orang-orang tua
bekerja keras mencari uang agar anak-anaknya bisa sekolah, pemerintah
mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk pendidikan, dan anak-anak pun harus
berjuang untuk belajar dan ada yang harus tinggal jauh dari orang tua.
Di Negara kita, anak-anak sekolah di SD
selama 6 tahun, SMP 3 tahun, SMA 3 tahun, dan ada yang kuliah S1 4-5 tahun.
Artinya tak kurang 16 tahun, bahkan ada yang lebih menghabiskan umur untuk
sekolah, dan sebagian besar dari kita semua pernah sekolah, juga pernah
merasakan senang dan susah. Dulu, kita belajar dengan giat, tugas dan PR
cukuplah berat, dan kita khawatir tidak naik kelas apalagi sampai tidak tamat.
Pertanyaannya sekarang, apa saja pelajaran
yang masih kita ingat?, Apa kita masih ingat tentang materi pelajaran biologi
di SMP?, atau matematika di SMA?. Serta materi pelajaran sekolah apa yang
sampai saat ini masih kita gunakan? Persamaan kuadrat atau persamaan eksponen?
Masalah Kromosom XX atau Heterozigot?
Faktanya, anak-anak sekolah cukup banyak
menghabiskan waktu seperti kita dulu. Anak-anak belajar hal-hal yang tidak
pernah akan digunakan dalam kehidupannya. Hanya beberapa pelajaran yang relevan
dan masih berhubungan dengan kehidupannya saat dewasa.
Rumus fisika, kimia, matematika, dan
pelajaran biologi, geografi, akuntansi, sosiologi, PPKN, dan lain-lainnya. Itu
semua sebagian besar seperti sejarah saja, artinya kita punya sejarah pernah
belajar pelajaran tersebut, walaupun sekarang kita tidak pernah pakai atau
sudah lupa. Malah pelajaran sejarah sendiri pun menjadi sejarah. :)
Belum lagi pelajaran bahasa Inggris,
minimal kita semua telah belajar bahasa ini selama 6 tahun (SMP dan SMA), ada
juga yang sudah mulai belajar dari SD. Jangankan untuk menulis surat atau
artikel dalam bahasa Inggris, merayu dengan dua kalimat saja kita masih
belepotan. :)
Ini bukan karena guru kita dahulu tidak
bisa mengajar, malah pengalaman dan ilmu mereka tak kita ragukan. Namun ada
yang salah dalam sistem pendidikan kita, yang membuat banyak pelajaran sekolah
menjadi sejarah saja, dan ini berlaku di seluruh Indonesia, bukan hanya di
daerah kita.
Kita sekolah lebih 16 tahun lamanya,
terkesan itu seperti sia-sia. Malah yang lebih menyedihkan lagi, pendidikan
kita merupakan mesin pencetak pengangguran.
Padahal untuk pendidikan anaknya, orang
tua di kampung-kampung menjual tanah, ternak atau harta lainnya, dan ada yang
berhutang pada siapa saja, demi memenuhi biaya pendidikan anaknya. Orang tua
berharap anaknya akan mendapat kehidupan yang lebih baik dan sukses, bukan
seperti dirinya.
Namun apa yang terjadi, sistem pendidikan
kita belum mampu menawarkan ijazah yang membuat pemiliknya kreatif dan inovatif
dalam menghadapi tantangan jaman. Sistem pendidikan kita masih menawarkan
ijazah dengan kemampuan menjadi pegawai atau karyawan. Sedangkan yang menjadi
Bos-nya adalah orang-orang yang tidak mempedulikan ijazah produk sistem
pendidikan kita. Mereka sukses karena mencari alternatif dan menjadi
orang-orang yang kreatif.
------------------
Hakikatnya sekolah-sekolah melahirkan
manusia yang terdidik, manusia-manusia yang akan menghadapi masa depan, dengan
segala kompleksitas dan permasalahannya.
Faktanya, sistem pendididkan hanya
memberikan ijazah akademik, namun tidak memiliki kemampuan pemecahan masalah
dan pengembangan kreativitas dalam menghadapi hidup dan tantangan masa depan,
sistem pendidikan kita hanya mempersiapkan alumninya sebagai calon pegawai atau
karyawan. Sedangkan yang menjadi Bos-nya adalah orang-orang yang tidak
mempedulikan izajah, mereka adalah orang-orang kreatif dan keluar dari pola
pendidikan yang kaku.
Sayangnya, penerimaan pegawai negeri
terbatas tiap tahunnya, sedangkan orang-orang kreatif dan yang berpikir tidak
biasa, atau orang-orang kreatif yang mampu membuka lapangan-lapangan pekerjaan
terbatas jumlahnya. Sehingga para sarjana dan alumni sekolah-sekolah (SMA dan
SMK) banyak menganggur dan tidak mendapat kerja.
Apa masalahnya pada sistem pendidikan
kita? Sekolah lama-lama dan tinggi-tinggi tapi tak dapat kerja, padahal
orang-orang tua miskin di kampung-kampung menyekolahkan anaknya agar bisa hidup
baik tidak seperti dirinya, sehingga menjual apa saja dan membuatnya menjadi
lebih merana.
Dilain sisi, pelajaran di sekolah sangat
jarang berguna pada kehidupan anak-anak saat dewasa, pelajaran matematika,
fisika, biologi, dan pelajaran lainnya hanya menjadi sejarah saja, belajar
susah payah tapi mereka tidak tau untuk apa. Setelah mendapat ijazah juga tak
mendapatkan kerja.
Anak-anak juga berkorban sangat luar
biasa, mereka butuh belaian kasih sayang orang tua. Setiap menit sangat lah
berharga. Namun karena harus sekolah terpaksa harus berpisah.
Ingatkah kita, mengapa anak-anak pada hari
pertama melangkahkan kaki masuk sekolah anak-anak menangis?
Itu karena anak-anak tau dia akan terpisah
dengan orangtuanya dan tak lagi bisa selalu bersama. Anak-anak perlu selalu
belaian cinta dan kasih sayang orang tua.
Ini pengorbanan yang mahal bagi anak-anak,
maka tak adil rasanya jika pengorbanan ini tidak sebanding dengan apa yang
didapatnya dari sistem pendidikan kita.
Belum lagi, jika jenjang sekolah semakin
tinggi. Maka anak-anak harus pergi untuk sekolah atau kuliah dengan hidup
mandiri.
Banyak masalah yang harus ditanggungnya
sendiri, mulai masalah beban belajar yang tinggi, jika sakit harus bangun cari
obat sendiri, jika lapar makan indomi, ingin makan enak saat mimpi atau ada
yang undang kenduri. :)
Artinya, kita semua berkorban untuk
mendapatkan pendidikan agar cerah masa depan, namun lihat sistem pendidikan
kita. Apakah telah memberikan tawaran masa depan yang cerah, atau semakin
membuat orang tua resah!
Ini sangat tidak adil bagi masyarakat
kita, menteri dan para politisi menyusun kebijakan pendidikan kita tak
sekalipun pernah mengajar di sekolah-sekolah. Tapi mereka yang menentukan
pendidikan kita mau dibawa kemana.
Para menteri dan politisi membahas
kebijakan pendidikan di hotel dan gedung-gedung yang tinggi, tapi anak-anak
pergi ke sekolah tanpa alas kaki, kurikulum yang mereka buat salah tapi
guru-guru yang dicaci maki, dianggap tidak mampu dan tak punya
kompetensi. Kurikulum kita selalu berganti jika ganti menteri, guru-guru di
sekolah belum tuntas mempelajari dan menerapkan kurikulum baru, tiba-tiba
keluar lagi kurikulum yang lebih baru, yang disahkan oleh menteri baru. Sistem
pendidikan kita coba-coba tanpa jelas visi dan orientasinya.
Dipedalaman, guru sejarah harus mengajar
geografi, dan guru PPKN mengajar biologi. Sekolah-sekolah dikota mengejar
prestasi, sedangkan sekolah di kampung dan pedalaman tak terpeduli.
Kita tak perlu lah membandingkan sistem
pendidikan kita dengan sistem pendidikan di Finlandia, walaupun para pejabat
pendidikan sering kesana. Karena pada dasarnya kita berbeda dan kita mampu
seperti mereka asalkan pemangku kebijakan mau membuka mata dan telinga.
Apa yang perlu kita perbaiki? Agar
pelajaran-pelajaran di sekolah lebih berarti. Materi matematika, fisika,
geografi, akuntansi dan lainnya tidak semata-mata menjadi sejarah saja, bahwa
kita pernah belajar materi itu tapi sekarang dipakai lagi dan sudah lupa.
Dan apa yang perlu kita benahi agar
sekolah-sekolah dan universitas tak lagi melahirkan para pencari kerja, yang
akhirnya pengangguran dimana-mana.
------------------
Seperti sudah saya tulis sebelumnya,
anak-anak belajar di sekolah cukuplah lama, tak kurang 16 tahun menghabiskan
waktu untuk sekolah. Namun faktanya, pelajaran di sekolah dulu tak pernah
digunakan untuk kehidupannya saat sudah dewasa, sehingga terkesan kurang
bermakna.
Belum lagi, orang-orang tua di
kampung-kampung terutama yang miskin, menyekolahkan anaknya dengan bersusah
payah, dengan harapan orang tua anaknya bisa sukses dan mempunyai masa depan
yang cerah. Namun setelah selesai sekolah/kuliah tak mendapatkan apa-apa dan
sulit mencari kerja.
Apa yang salah dengan sistem pendidikan
kita? Padahal pelajaran di sekolah dan di universitas cukup lah susah, tapi tak
menjamin masa depan yang cerah.
Kita memang tak bisa menutup mata, bahwa
sistem penerimaan calon mahasiswa di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Negara
ini melalui tes kemampuan akademik.
Soal-soal SMPTN sangatlah sulit, sehingga
anak-anak belajar dengan giatnya, semua belajar keras agar dapat lulus
diperguruan tinggi sesuai keinginannya.
Setelah semuanya itu selesai, maka
pelajaran-pelajaran di sekolah hanya lah menjadi sejarah. Bagi yang melanjutkan
kuliah maka ada beberapa mata pelajaran yang menjadi dasar pengembangan ilmu
selanjutnya. Sedangkan bagi yang berhenti melanjutkan studi, hanya pelajaran
agama lah yang terus mendampingi perjalanan hidupnya.
Artinya, begitu banyak pelajaran yang
kemudian tidak punya makna apa-apa untuk menunjang kehidupan anak-anak saat dia
dewasa.
Seharusnya sistem pendidikan kita
bagaimana? Atau apa solusinya?
Kalau kita menyadari bahwa orang-orang
yang sukses dalam hidupnya saat dewasa adalah orang-orang yang berpikir
kreatif, bernalar logis, sistematis dan kritis, memiliki jiwa inovasi, mampu
menyelesaikan masalah, dan tak mudah menyerah.
Lalu mengapa pelajaran-pelajaran di
sekolah tidak maksimal melakukan pendekatan pembelajaran yang menguatkan hal
ini. Sekolah-sekolah kita masih saja menerapkan sistem pendidikan Bihavioris.
Masuk ke kelas harus dengan rapi, duduk diam dan teratur seperti ABRI.
Anak-anak menghapal begitu banyak pelajaran, latihan menjawab soal-soal,
memiliki tugas atau PR setiap mata pelajaran. Padahal, suatu saat mereka tidak
pernah gunakan itu semua untuk hidupnya.
Pada sisi lain, kurikulum kita memang
sudah berubah, namun guru di sekolah terpaksa taat aturan yang semakin susah,
mengejar target kurikulum yang telah ditetapkan, sehingga kreativitas guru
hanya sekedar jadi harapan.
Memang kurikulum kita sudah berubah, namun
pelaksanaannya bagaimana? Setiap hari guru matematika, fisika dan kimia mengajar
dengan pola yang sama, menuliskan judul materi pelajaran dipapan, membuat
rumus-rumus kemudian dijelaskan, selanjutnya memberi contoh-contoh soal sebagai
panduan, dan memberikan latihan yang harus dikerjakan. Kebiasaannya, contohnya
mudah dan latihannya sulit, sehingg siswa menjerit. :)
Guru-guru ekonomi, geografi, PPKN,
sosiologi, dan sejarah, mengajar dengan materi dengan metode ceramah.
Kemudian meminta anak-anak menuliskan catatan, agar materi bisa dihapalkan.
Setiap ujian tiba, lain yang siswa hapalkan, lain pula soal yang keluar, :)
mungkin terlalu banyak materi yang harus dikuasai dan tak mampu dihapal semua!
Namun itu dulu, saat kurikulum kita masih
menganut faham Bihaviorsme, dimana anak-anak belajar harus diberi latihan
banyak-banyak (drill), guru mendominasi kelas, pembelajaran satu arah dengan
ceramah. Sekarang pelan-pelan sudah berubah.
Mulai tahun 2004 kurikulum di Indonesia
berubah menganut faham Konstruktivisme, kurikulum ini dinamakan KBK, kemudian
berubah nama menjadi kurikulum 2006 (KTSP), dan saat ini berubah lagi menjadi
Kurikulum 2013 (K13)
Kurikulum yang menganut faham
Konstruktivisme sejak 2004, kemudian merubah paradigma pembelajaran di sekolah.
Guru tidak boleh lagi mengajar hanya dengan cermah, namun dengan
model/pendekatan/strategi pembelajaran yang bervariasi, anak-anak belajar diajak
untuk membangun (meng-konstruk) sendiri pemahamannya, guru berfungsi sebagai
fasilitator yang memfasilitasi anak-anak untuk belajar.
Kurikulum ini menjadi kontroversi, banyak
yang menentang karena dianggap merepotkan, serta ada yang menganggap kita belum
siap seperti di negara-negara barat.
Selain itu, pelatihan kurikulum baru tidak
merata dan tidak semua guru mendapatkannya, dan guru yang telah dilatih pun
tidak semuanya tuntas memahaminya, apalagi kurikulum K13 yang tolak-tarik
pelaksanaan, Menteri Pendididkan M. Nuh menggagasnya, kemudian Anis
membatalkan, dan Anis pula yang menerapkannya kembali. Kemudian dilanjutkan
oleh menteri selanjutnya.
Dengan kurikulum baru ini, apakah menjadi
penyelesaian masalah? Faktanya belum dan begitu banyak kendala!
Seperti tulisan diawal,
pelajaran-pelajaran yang banyak dan padat belum memberikan makna apa-apa,
selain nilai-nilai akademik yang menjadi targetnya, walaupun sudah mulai
memperhatikan keseimbangan ranah kognitif, afektif dan psikomotorik siswa,
namun masih jauh dari harapan.
Jauh dari itu semua, seharusnya kita terus
implementasi dalam mendorong anak-anak tumbuh kreatif, bernalar logis dan
kritis dengan menekan pada pembelajaran berbasis pemecahan masalah, sehingga
anak-anak akan tumbuh sebagai orang-orang dewasa yang kreatif, inovatif dan tak
mudah putus asa.
Nanti suatu saat, anak-anak sudah dewasa,
walaupun tidak ingat atau lupa tentang materi-materi pelajarannya, namun dengan
materi-materi itulah anak-anak dibiasakan berpikir kreatif dan inovatif. Sehingga
tidak ada yang terkesan sia-sia. Karena selain anak-anak kita mampu menguasai
materi pelajaran untuk menghadapi jenjang pendidikan yang lebih tinggi, namun
juga punya makna untuk masa dewasanya, sehingga pelajaran tidak menjadi
sejarah-sejarah tanpa makna.
Mengapa membangun jiwa kreatif dan
inovatif itu penting?. Karena pada dasarnya, semua anak-anak tumbuh-besar
dengan memiliki kemampuan kreativitas dan inovasi yang baik.
Lihatlah anak-anak kecil, bermain dengan
apa saja. Ranting pohon dijadikan pistol atau senjata, kotak-kotak kecil bekas
makanan dijadikan mobil-mobilan, dan pasir atau tanah dijadikan tempat
lintasan. Anak-anak membuat bermacam-macam inovasi dalam kehidupan masa
kecilnya.
Sayangnya, saat anak masuk sekolah
kreativitas dan jiwa inovasi semakin hari semakin hilang, anak tumbuh menjadi
orang-orang yang prosudural, anak-anak sibuk menghapal macam-macam pelajaran.
Anak-anak diajarkan meniru cara guru
menyelesaikan soal-soal atau permasalahan, sehingga menjadi manusia-manusia peniru
dalam penyelesaian masalah. Lihatlah, guru memberikan contoh soal dan anak-anak
menyelesaikan soal dengan melihat contoh yang sudah dibuat oleh guru. Sehingga
jiwa kreatif anak-anak pelan-pelan hilang dan pudar.
Maka tak heran, jika kelak sudah dewasa
dan menjadi pejabat dan politisi, lebih suka studi banding ke luar negeri.
Lebih suka mencontoh daripada berinovasi sendiri.
Sebagai penutup tulisan ini, sebenarnya
kurikulum kita jauh sudah lebih baik daripada kurikulum 1994 dan sebelumnya,
yang masih menganut faham Bihaviorsme, hanya saja perlu komitmen kita bersama
terutama pemangku kebijakan agar kurikulum yang dikeluarkan tidak kontra
produktif dilapangan, dengan memasang target-target yang membuat anak-anak
semakin hilang jiwa kreativitas dan inovasinya. Sehingga pembelajaran yang
lebih menekankan pada proses dari pada hasil bukan isapan jempol semata.
Kelak saat anak-anak dewasa, selain
memiliki kemampuan akademik dan intelektual yang baik, namun juga memiliki
mental yang kreatif, dan tak mudah menyerah pada keadaan.
Sehingga kedepan lahir generasi-generasi
yang tidak hanya ingin mencari pekerjaan, namun juga bisa menciptakan lapangan
kerja bagi orang lain.
Semoga!
https://youtu.be/YLiG6Dhum6g
menggugat sistem pendidikan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar